Langkah Ketujuh


Jika di agamaku, angka tujuh adalah bilangan sakral. Atau lebih tepatnya bilangan ganjil nan prima, tak bisa dibagi kecuali dengan satu. Begitulah denganku. Di semester tujuh, aku anggap begitu sakral. Sampai-sampai beberapa mahasiswa mengultuskan semester ini dengan berbagai cara: mulai merintis bisnis, mulai mendalami politik, atau berdebat masalah buku yang harus ditulis sendiri olehnya. Disepakati bernama skripsi.

Di agamaku, kitab kuning semacam kitab tingkat tinggi yang oleh karenanya tidak sembarangan dibaca oleh khalayak. Harus melalui tingkatan tertentu barulah bisa dikatakan layak. Skripsi di fakultasku, fakultas bahasa dan seni (FBS) berwarna kuning. Lebih karena FBS telah disepakati berwarna kuning dari dahulu. Bukan karena religius. Setiap fakultas memiliki warna tersendiri. Merah untuk FMIPA. Biru laut untuk FIK. Biru keunguan untuk FIP. Biru gelap cerah untuk FIS. Hijau untuk FT. Dan, putih kekuningan untuk FE. Aku tak tahu mengapa orang terdahulu bisa menentukan warna apa untuk fakultas apa. Aku anggap skripsi adalah kitab agung untuk mahasiswa tanggung maupun tangguh.

Sebenarnya aku hampir skeptis dengan orang-orang yang sedang ataupun telah menulis skripsi benar-benar memahaminya. Semacam skripsi haruslah diambil pada semester tujuh lalu memaksakan kehendak padahal belumlah pantas diambil secara intelektual bukan secara akademik. Imbasnya, skripsi hanya dikerjakan asal jadi dengan membuat penelitian yang remeh nan gampang. Tidak lagi mendalam. Dan mereka biasanya berpatokan bahwasanya mahasiswa harus lulus tepat waktu, sesuai dengan gunjingan ibu-ibu tetangga,”mahasiswa harus lulus empat tahun.”

Dengan paradigma seperti itu, skripsi-skripsi yang menumpuk di perpustakaan tak lagi menjadi luhur. Hanya sebatas tembusan agar cepat lulus. Jika saja aku menjadi penjaga perpustakaan, aku membaca semua skripsi lalu menjual ke tukang loak skripsi yang tak berbobot. Lebih baik seperti itu. Kau tak perlu merusak matamu dengan buku-buku yang remeh. Lagipula tukang loak juga butuh uang untuk makan esok hari.

Tiba-tiba saja aku terkena kutukan dari negeri kotak. Dan aku pernah berpikir untuk mengambil sikap tangkas meneliti yang gampang dan cepat. Menganalisis puisi. Ideku itu aku lontarkan ke temanku. “Kau meneliti semacam itu,” balas temanku,”rugi dengan bacaanmu selama ini yang sedikit memusingkan kepala kebanyakan orang.” Itulah yang aku anggap sebagai kutukan. Bacaan-bacaan dan ilmu-ilmu yang kau dapat tidak begitu saja mudah kau lepaskan. Kau harus mempertanggungjawabkan secara intelektual dan emosional.”Skripsi memang masalah perang mental,” aku menjawab serangan temanku itu,”untuk bagaimana kita mengukur diri kita.” Temanku mengangguk saja.

Memang skripsi adalah perang mental. Ukuran untuk penelitian haruslah pas. Tidak kurang tidak lebih. Jika kurang, kau akan kena serangan semacam aku. Disepakati bernama serangan cemooh. Dan jika lebih, dosen pembimbingmu akan terus melakukan serangan pula. Disepakati bernama serangan revisi. Hingga kau benar-benar bisa mempertanggungjawabkan isi skripsi di depan dosen penguji. Sidang skripsi. Dan dengan langkah kemenangan, kau keluar kelas sembari melayang-layangkan skripsi di tanganmu.

Aku sebenarnya ingin seperti itu di langkah ketujuh. Secara intelektual, mungkin aku sanggup meskipun aku kurang memiliki literatur mengenai yang hendak aku kaji. Bukuku terlalu banyak berkenaan dengan filsafat dan cerita-cerita yang bisa memancingmu mengernyitkan kening. Namun, lagi-lagi aku terhalang akademik. Beberapa mata kuliah menunggak di langkah ini. Dan aku memutuskan untuk mengambilnya setelah tunggakan mata kuliah tidak begitu banyak.

Semester kali ini aku memutuskan lebih sering pulang ke rumahku, rumah imajiner. Di sana, kau akan menemui begitu banyak kata-kata tercecer di dinding-dinding, kursi, balik karpet, dan WC yang paling banyak. Setiap hari, aku harus berusaha merangkai dari kata-kata itu menjadi semacam kereta lalu kau akan ku bawa juga. Bukan menuju Negeri Senja seperti kata Seno Gumira Ajidharma, melainkan aku menyebutnya Negeri Cahaya, dimana semua begitu terang lagi menyilaukan. Bahkan matamu bisa buta sesaat. Einstein saja pernah membayangkan menaiki cahaya. Apa kau bersedia aku ajak bersama ke sana?

 

catatan semester 7

2 thoughts on “Langkah Ketujuh

Leave a comment